Sunday, November 11, 2012

My Darkest Secret

Ini dia rahasia tergelap saya yang tidak pernah terang-terangan pernah diungkap. Tapi saya tidak pernah terkenal sebagai orang yang pandai menyimpan rahasia. Jadi, inilah saya membagi rahasia yang sungguh membuat saya malu. Saya seorang shipper. A minsun shipper. There, i said it out loud.



Monday, March 17, 2008

MENULIS

Pada suatu hari saya sempat bertanya pada diri sendiri, sejak kapan ya saya bisa nulis? Seingat saya dulu waktu SD saya paling benci pelajaran mengarang. Saya paling nggak bisa tuh mengarang panjang-panjang.

Hasilnya, saya selalu menggarisi kertas ujian yang polos itu dengan ukuran garis yang besar. Tulisan tangan saya yang aslinya kecil-kecil saya perbesar sekian kali lipat. Intinya supaya saya tidak perlu menulis terlalu banyak. Nggak tahu kenapa saya paling nggak bisa menulis panjang-panjang.Apalagi kalau topiknya berlibur ke rumah nenek.Haduh saya paling nggak bisa deh.

Waktu kecil saya juga tidak punya prestasi seperti para penulis lain. Ikut lomba puisi atau juara menulis cerpen tingkat kecamatan. Sama sekali nggak ada. Tapi dari dulu saya memang suka sekali mencoret-coret kertas. Walaupun tidak menulis apapun saya merasa nyaman kalau ada pulpen dan kertas di dekat saya.

Dulu tulisan saya paling-paling ada di diari saya. Saya mulai aktif menulis diari waktu SMP. Sepertinya waktu mulai naksir-naksir cowok. Diari mulai menjadi bagian penting dalam setiap fase kehidupan saya setelah itu. Saya hampir selalu punya catatan harian apapun bentuknya. Bisa notes lucu, bisa juga buku tulis. Apa saja. Malah waktu beranjak dewasa saya menulis dimanapun.

Saya mulai menulis serius waktu jadi reporter. Walaupun sampai sekarang tulisan saya juga nggak bagus-bagus amat, tapi kalau saya bandingkan dengan diari saya dulu jauh lebih baiklah. Sekarang kalau membaca ulang diari saya dulu rasanya malu sendiri. Karena pilihan kata saya begitu aneh. Sampai saya berpikir, "kok dulu bisa ya nulis kayak begitu?" Aneh sekali.

Menulis bagi saya sangat dipengaruhi mood. Saat mood saya baik, saya bisa menulis panjang lebar. Tapi kalau sedang ruwet, satu kata pun rasanya tak sanggup saya karang. Sebagai penulis profesional, artinya saya mendapat uang dari menulis, harusnya perasaan tak boleh membuat saya mati ide. Namun, sekuat apapun saya berusaha mengabaikan perasaan saya, tetap saja mood berperan besar.

Anehnya saya sulit menulis saat emosi saya meluap-luap, baik terlalu senang ataupun terlalu sedih. Dua kutub perasaan itu mematikan kemampuan saya untuk menulis. Saya justru bisa menulis saat emosi sedang datar-datar. Tidak terlalu senang, juga tidak terlalu sedih. Kalau saya berhasil menulis artinya mood saya tidak berada di dua kutub tadi.

Mungkin bagi penulis, tulisan adalah cermin paling jujur ungkapan emosi dirinya.

Labels:

Sunday, February 24, 2008


I Need Some Peace Here!

Kapan kita akan memperoleh ketenangan. Mungkin saat nyawa ini lepas dari raga, ketenangan itu baru hadir. Hidup yang penuh warna ini memang harus dibayar dengan ketiadaan ketenangan. Satu masalah selesai, prahara lain muncul. Satu dilema berakhir, kebingungan lain menghampiri. Satu pertanyaan terjawab, pertanyaan lain mengikuti. Lelah? Sudah pasti. Tapi lelah seharusnya tak membuat seseorang menyerah.

Bicara lelah, saya lelah dengan pertanyaan orang-orang yang terus datang tanpa mau berhenti. Pertanyaan demi pertanyaan mengikuti setiap perubahan fase hidup saya. Kalau saya ingat-ingat orang lain selalu punya pertanyaan pada kita. Waktu kita kecil, pertanyaannya, "Kalau sudah besar mau jadi apa?, Gimana nilai rapot kamu?" . Waktu lulus sekolah,pertanyaannya, "Mau melanjutkan kemana?". Waktu kita lulus SMA pertanyaannya, "Mau kuliah apa?". Setelah lulus kuliah pertanyaannya, "Mau kerja dimana? Sudah dapat pekerjaan belum?". Sudah lulus dan bekerja, pertanyaan selanjutnya adalah "Sudah punya pacar belum? Mau cari yang seperti apa sih?".

Kalau pada akhirnya seseorang menggandeng pacar ke acara keluarga atau perhelatan, ada lagi pertanyaan orang. Mungkin yang ini adalah pertanyaan favorit. "Kapan menikah? Kapan mau diresmikan? Nunggu apa sih?". Malah kadang-kadang diikuti dengan komentar lain yang tak kalah konyolnya. "Jangan lama-lama lho, Jangan terlalu memilih lah. Nanti keburu tua lho." Oh My God! Pernahkah mereka belajar menghormati urusan pribadi orang lain? Kapan sih mereka mau belajar? It's a big question for me. Lagipula menikah itu kan urusan sekali seumur hidup. Sudah pasti kita harus memilih dengan baik. Aneh sekali kalau urusan mencari pasangan hidup tidak boleh terlalu memilih.

Setelah pacaran sekian lama, akhirnya seseorang memutuskan untuk menikah. Ternyata pertanyaan itu tak juga berakhir. Setelah menikah, telinga rasanya mulai bising dengan pertanyaan, "Udah isi belum?". Dan kali ini mereka melangkah terlalu jauh.

Saya dan pastinya orang lain, mengalami serangkaian pertanyaan yang tak ada habisnya itu. Hati saya rasanya mau meledak saking menahan amarah. Tak bisakah saya memiliki ketenangan? Kalau memang ketenangan adalah sebuah barang mewah, tak bisakah saya memiliki sedikit privasi? Sebuah ruang pribadi yang hanya ada saya di sana.

Hal yang paling aneh bagi saya adalah mereka menganggap pertanyaan ini pertanyaan standar yang bisa digunakan untuk mencairkan suasana. Saya pernah tiba-tiba ditanya kapan menikah oleh ibu-ibu tetangga rumah calon suami saya kala itu. Saya bahkan tidak kenal dia, kecuali dia adalah tetangga calon suami saya. Saya terkaget-kaget dan kehilangan kata-kata saat itu. Kok bisa-bisanya dia begitu lancang bertanya kapan saya akan menikah. Kapanpun saya akan menikah, itu bukan urusan dia!

Bagi saya pernikahan adalah sebuah pilihan dan keputusan untuk menikah ada di tangan kita sendiri. Buat saya, tidak ada yang bisa memaksa saya menikah apapun alasannya. Kalau sekarang saya berstatus istri orang, karena saya memang memilih untuk menikah. Saya memilih untuk berbagi kehidupan yang begitu indah ini dengan orang yang saya cintai dan mencintai saya apa adanya. Bukan karena lingkungan sosial saya menuntut seorang perempuan menikah di usia 20an.

Namun, setelah menikah ternyata saya masih harus menahan diri untuk menghadapi pertanyaan kapan punya anak. Semua orang rasanya menikmati sensasi bertanya kapan punya anak pada pasangan yang baru menikah, termasuk saya dan suami. Saya berjuang keras untuk tidak melempar sepatu, sandal, tas, bahkan meja dan kursi kepada orang yang bertanya seperti itu pada saya.

Buat saya orang asing tak pantas bertanya seperti itu. Pertanyaan itu hanya "legal" bagi para sahabat. Tapi saya jamin mereka yang memang sahabat saya akan berpikir sejuta kali untuk bertanya pertanyaan-pertanyaan pribadi ini pada saya. Karena mereka tahu, saya tidak pernah senang ditanya seperti itu atau karena saya memang sudah duluan curhat kepada mereka tentang perkara-perkara ini.

Saya tak menuntut ketenangan dalam hidup ini. Adventurous life definitely much more interesting than plain, boring life. But, pleeeaseee don't disturb me with those stupid, unimportant question. Ada begitu banyak pertanyaan lain untuk membuka sebuah percakapan. How's life might be a good question, at least it will work for me.

Wednesday, December 19, 2007


Menikah = Penjara

Wihiy...nggak kerasa saya sudah menikah selama sebulan. Yah...harus kami akui pernikahan ini bukan pernikahan yang sempurna. Baru sebulan, udah beberapa kali ribut. Keributan kecil sih. Namun, tidak bisa dipungkiri kehidupan menikah itu menyenangkan dengan caranya. Melakukan apa saja selalu ada temennya. Nggak sendirian lagi. Ada teman berbagi. Tapiii...tetap saja nggak seindah yang duluuu sekali saya bayangkan. Hehehehehe...namanya juga real life.

Pertama kali saya masak buat suami, dia protes abis-abisan. Soalnya saya hampir membunuh dia dengan cabe yang sangat banyak di masakan udang saya huahahaahhaha. Masakan itu emang pedes banget sih. Dia ngomel-ngomel gitu. Dia bilang saya bukan masak udang pakai cabe, tapi masak cabe pake udang. Akhirnya malemnya kita memutuskan untuk beli burger aja daripada makan masakan berasap itu. Sejujurnya saya kesal. Tapi akhirnya jadi ikut ketawa juga.

Dia juga tak sekali menjemput saya dengan muka ditekuk 50 karena dia sudah sangat lelah. Maklum jarak kantor dia ke kantor saya memang jauh. Saya sangat paham. Tapi melihat dia menjemput dengan muka cemberut, saya juga jadi kesal. "Lho jemput aku kan salah satu bagian dari tanggung jawab kamu sebagai suami." Ya begitu lah. Tidak ada jalan keluar yang adil sampai sekarang. Kami cuma berusaha lebih baik untuk menerima.

Masalahnya mungkin karena saya berharap dia berubah. Nggak secuek jaman pacaran dulu. Sepertinya saya berharap terlalu banyak. Karena memang tidak banyak yang berubah. Bukan salah dia sih. Salah saya kenapa harus berharap seperti itu. Padahal sudah banyak orang yang bilang kalau setelah menikah kebaikan pasangan itu akan berkurang 30% dari saat pacaran. Terus terang dulu saya tidak percaya. Saya yakin sekali dia akan lebih menyayangi saya setelah menikah. Dia akan lebih care sama saya setelah menikah ketimbang waktu pacaran. Well, ternyata nggak tuh. Dia sepertinya sama saja hehehehee.

Tapi kalau dipikir-pikir suami saya juga baik kok. Dia mau membantu mencuci baju kalau saya sedang sangat sibuk di kantor dan sampai di rumah sudah malam. Kalau saya sedang malas yang frekuensinya cukup sering, dia rela menyetrika tumpukan pakaian bersih yang masih kusut itu. Dia juga mau gantian cuci piring meski cuma saat hari libur saja. Dia juga mau repot-repot memasak buat sarapan. Suami yang manis. I love u hun!

Sebelum menikah sebenernya saya juga sudah tahu yang begitu pasti kejadian. Tapi...tetep aja pas ngalamin sendiri berasa sedikit pahit. Jadi, siapa bilang nikah itu enak. Isinya bukan cuma yang enak, tapi juga banyak hal gak enak. Makanya saya nggak pernah mendorong orang lain untuk cepat-cepat menikah. Buat saya yang namanya menikah membutuhkan kesiapan dan kedewasaan dan kematangan berpikir. Kalau saya sih memilih puas-puasin mereguk masa muda.Gak mau cepet-cepet kawin. Soalnya kejadiannya pasti seperti yang dulu pernah saya bayangkan dan sekarang saya alami.

Bukan berarti pernikahan saya nggak bahagia lho. Saya yakin semua orang yang menikah kalau mau jujur pasti mengalami apa yang saya alami. Pernikahan itu seperti kue lapis. kebahagiaan datang berlapis dengan ketidakbahagiaan. Tapi mungkin itulah the beauty of marriage. Bagaimana kita berkompromi dengan keadaan dan menerima pasangan kita dan menghormati dia.

Meskipun saya menjalani pernikahan yang baik-baik saja sampai saat ini, tapi saya tetap sering menyayangkan keputusan seseorang untuk menikah di usia yang menurut saya sangat muda. Apalagi kalau kehidupan masing-masing terlihat masih sangat rapuh. Paling nggak hari ini saya merasa begitu. Ada teman kantor yang baru masuk kerja sekitar tiga bulan yang lalu. Usianya baru 23 tahun. Laki-laki. Buat saya dia masih sangat muda. Di ujung tahun ini dia akan mengakhiri masa lajangnya.

Saya dan teman-teman saya yang iseng dan punya sifat seperti dajal mempertanyakan keputusannya menikah di usia yang sangat muda dan terhitung belum terlalu mapan, paling tidak mungkin secara finansial. Jawaban dia sungguh mengejutkan. Membuat kami seperti tersedak sumpit. Dia bilang "Gue nikah karena pengen ngerawat cewek gue. Karena gue sayang sama dia. Dan hal itu yang membuat gue semangat setiap hari." Oh my god. Nyaris gak pernah saya denger alasan kayak gitu dari cowok.

Mendengar itu saya antara kagum dan pengen tertawa. Banyak pertanyaan yang bermunculan. "Dia tau gak sih kalo menikah itu gak semanis itu?", "Dia pengen merawat istrinya atau pengen dirawat istrinya?", "Dia tahu gak kalo menikah itu harus mengorbankan banyak hal. Gak bisa dengan enak ngedandanin motor atau melakukan hobi lain yang menyedot banyak biaya karena sekarang ada istri yang harus ditanggung." Banyak deh pertanyaan saya.

Mungkin itu cuma pertanyaan-pertanyaan orang yang gamang sama pernikahan seperti saya saja. Dulu pernah ada yang bilang pernikahan itu ibarat penjara yang indah. Semua orang berlomba-lomba masuk ke dalamnya, tapi begitu di dalam merasa terjebak dan pengen cepet-cepet keluar lagi. Saya menyadari itu adalah penjara bagaimanapun indahnya. Tapi meski itu penjara, tempat itu pasti cukup menyenangkan, paling tidak itu tempat yang indah.

Saya pikir, akan lebih baik kalau semua yang masuk ke penjara itu tahu kalau tempat itu adalah penjara. Kalau sudah masuk menyerahlah dan berusahalah untuk menikmati keindahannya daripada sibuk melihat keluar dan meratapi kebebasan yang hilang dan berusaha mendapatkannya dengan menjebol penjara itu.Then everybody happy. Besok saya mau cerita soal persiapan pernikahan yang bikin sakit kepala dan sakit hati. Tunggu ya!

Tuesday, October 16, 2007

Meaningless Ied Mubarak
Sepotong Memori tentang Eyang


SAYA merasa dari tahun ke tahun hari raya Idul Fitri semakin tidak berarti. Terdapat pergeseran makna yang signifikan bagi jiwa saya. Satu hal yang pasti saya kehilangan kemeriahannya dari tahun ke tahun. Hari raya Idul Fitri beberapa tahun terakhir mungkin hanya berarti cuti panjang dari rutinitas pekerjaan yang menyesakan.

Waktu saya kecil, Idul Fitri berarti bertemu eyang putri, eyang kakung, pakde, bude, sepupu-sepupu, baik yang saya kenal dekat maupun yang hanya saya lihat setahun sekali saat lebaran. Rasanya selalu tak sabar menunggu hari itu.

Pagi-pagi sesudah salat Ied kami sekeluarga selalu berangkat ke rumah eyang. Senang sekali. Satu hal yang saya benci hanya AC taksi yang selalu membuat saya ingin muntah. Maklum sejak dulu kami sekeluarga tak pernah mampu membeli mobil. Saya mengingat dulu saya lebih senang naik becak ketimbang naik kendaraan apapun. Metro mini sering ngebut, sedangkan taksi memiliki bau yang tak enak.

Pergeseran mulai terjadi saat eyang putri wafat bertahun lalu. Saya masih SD saat itu. Usia saya bahkan kurang dari sepuluh tahun. Mungkin baru enam tahun. Saya mengingat kepergian eyang sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Saya tidak rela ditinggal eyang. Sosok yang begitu menyayangi saya. memahami saya. Mengingatnya kini bahkan rasanya masih sesakit dulu. Saya ingat saya menangis histeris saat saya sadar eyang tidur dan tidak akan pernah bangun lagi.

Ia tak akan pernah lagi membawa saya dan “memamerkan” saya pada teman-temannya yang saya ingat sebagai sekelompok orang-orang tua yang begitu baik dan penyayang. Ia tak akan pernah lagi memberikan saya beberapa butir cokelat Van Houtten saat saya kangen rumah kala menginap di rumah eyang. Ia tak akan pernah lagi mengikat rambut panjang saya dengan pita merah. Ia tak akan pernah lagi mengajak saya jalan-jalan sore hari di sekitaran jalan Sanjaya yang lengang dan dinaungi pepohonan rindang. Tak akan pernah lagi.

Eyang putri adalah seseorang yang saya ingat begitu memahami saya. Hanya dia yang merestui saya memiliki rambut panjang kala semua bude-bude mencela pilihan tersebut. Mungkin kalau saat ini eyang masih ada, dia akan menjadi oase kala saya gundah dengan sejuta masalah yang menghimpit. Hhh…saya rindu eyang putri.

Sejak kepergian eyang tahun itu, Idul Fitri terasa berbeda. Eyang kakung adalah seorang yang sangat menyenangkan. Dia memperkenalkan saya pada kecintaan terhadap membaca. Setiap pagi eyang kakung selalu mengajak saya ke ruang kerjanya yang dipenuhi berbagai buku. Ia membaca koran di sana. Mengkliping berbagai berita penting. Meraut pensil untuk membuat beberapa catatan. Ia menghabiskan waktu beberapa jam di sana. Dengan tekun membaca sesuatu. Eyang memberi contoh bagi cucunya yang blingsatan seperti mercon macam saya.

Tapi laki-laki tak akan bertahan tanpa perempuan yang dicintainya dan telah menemaninya selama berpuluh tahun. Setelah eyang putri pergi, eyang kakung mulai dihinggapi penyakit lupa. Ia pun menjadi pikun. Ia tak lagi bisa menemani saya ke ruang kerjanya membaca sesuatu. Saya kangen eyang kakung yang rajin membaca,rajin bercerita, dan mampu menjelaskan banyak hal yang menjadi rahasia alam bagi saya. Kecintaan dan kekaguman pada eyang mungkin yang membuat saya selalu jatuh cinta pada laki-laki cerdas yang mampu menjelaskan banyak hal pada saya.

Setelah eyang kakung mulai pikun, tak banyak lagi orang-orang yang datang saat lebaran tiba. Kami sekeluarga pun mulai datang agak siang ke rumah eyang. Saya pun mulai jarang berjumpa dengan bude, pakde, dan para sepupu. Mereka tak pernah tinggal lama di rumah eyang sejak eyang kakung mulai pikun.

Keadaan semakin berubah saat sepupu saya mulai menikah. Satu per satu dari mereka menikah dan semakin jarang bertemu. Rumah eyang kakung tak lagi menjadi persinggahan utama bagi mereka. Semakin lengang rumah jalan Sanjaya II No. 87. Saya mulai kehilangan, tetapi mulai menerimanya sebagai sesuatu yang given.

Semakin lengangnya rumah eyang saat lebaran, semakin kehilangan juga saya pada keceriaan hari lebaran. Saya mulai pasang jarak pada keluarga besar ayah. Keramahan yang saya tunjukkan tak lebih dari basa-basi semata. Begitu beranjak dewasa, karakter saya yang keras semakin jelas terlihat. Saya mulai sulit tersenyum pada orang yang tidak saya sukai. Dan jumlahnya mulai bertambah dari tahun ke tahun.

Kini saya tak hanya kehilangan keceriaan hari lebaran, tapi juga ketenangan di dalamnya. Saat hari lebaran tiba hati saya justru jadi susah, karena memikirkan harus bertemu muka dengan paling tidak dua orang keluarga ayah. Sebagai anak sulung saya tak pernah bisa menolak hadir meski saya rasanya ingin lari. Saya rela membayar apapun untuk sekadar melarikan diri dari keharusan itu.

Sampai saat ini hari raya Idul Fitri tetap menjadi momen indah bagi saya setiap tahun. Artinya memang telah bergeser, tapi ada yang tak pernah bergeser. Rasa tenang dan bahagia saat mendengar takbir di malam lebaran. Ketenangan yang tak pernah tergantikan. Hal yang hanya bisa saya dengar dua kali dalam setahun.

Berangkat salat Ied kini menjadi satu-satunya ritual yang saya tunggu saat lebaran. Selebihnya, tidak ada. Tidak ketupat, tidak kue lebaran, tidak pertemuan dengan keluarga ayah. Saya pun kehilangan kemampuan untuk memaafkan semua orang. Kini ada hal yang begitu sulit saya maafkan meski saya begitu ingin. Bagi saya lebaran kini nyaris tak ada artinya lagi. Hari fitri saat semua orang bersilaturahmi dan saling memaafkan tak lebih dari sebuah slogan iklan di televisi bagi saya.

Lebaran kini menjadi hari yang sangat sepi bagi saya. Saya menunggu keceriaan itu kembali lagi, dan saya yakin hal itu akan kembali. Saat hati saya kembali mencair.

Sunday, October 14, 2007

Sabar

Kesabaran seharusnya seperti embun yang akan menetes setiap fajar datang menyapa
Tapi amarah datang seperti terik matahari yang garang
Menyesap habis setiap tetes embun
Entah kapan sinar matahari ini akan meredup

Monday, September 10, 2007


Uninspiring Leadership (Uninspiring Leadersheep)

Menjadi pemimpin tak sesederhana yang dipikirkan orang. Menjadi leader sangat berbeda dengan menjadi bos. Bos bisa jadi hanya cukup perintah sana sini. Tapi menjadi leader berarti menjadi “pemandu” sekaligus sumber semangat yang tak ada habisnya bagi mereka yang dipandu. Dalam benak saya menjadi pemimpin berarti menjadi suar dalam perjalanan sebuah organisasi.

Manajemen sebuah organisasi sudah selayaknya menjadi pemimpin yang mampu memberi inspirasi bagi “anak buah” kalau itu memang kata yang tepat. Sebuah manajemen harus memiliki wibawa dan kecerdasan. Dengan konsep yang ada di benak saya, manajemen dalam organisasi tempat saya bergabung menjadi sangat tidak berwibawa dan cerdas.

Mereka memberlakukan berbagai peraturan yang tidak seharusnya mereka berlakukan. Memberlakukan sederet kebijakan itu sama saja dengan mencoreng wajah sendiri dengan arang. Bunuh diri. Saya bisa menyebut sederet hal bodoh yang mereka lakukan. Pertama dan yang paling tolol adalah mengunci salah satu toilet dengan dalih memberikan efek jera. Sungguh sangat tolol.

Awal mulanya ada oknum yang dengan joroknya membiarkan ampas kehidupannya mengambang di toilet. Tak mampu menemukan cara yang tepat untuk menghukum pelakunya, manajemen memutuskan untuk mengunci kamar mandi terluas dan tiga kamar mandi yang ada. Akhirnya penduduk di lantai tiga dan empat harus mengantri di toilet mungil yang berada di lantai empat.

Salah seorang manajer yang ikut nimbrung saat makan siang menyatakan bahwa hal itu dilakukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku yang hingga kini tetap misteri. “Pada akhirnya semua akan susah kalau ada satu orang yang melakukan sebuah kesalahan,” begitu kata si manajer. Saya tidak menemukan logika berpikir yang jelas di sini, apalagi aksi penguncian tersebut tidak diikuti dengan penjelasan yang yang pantas.

Pertanyaan besar yang menggantung di otak saya adalah: Apakah setelah aksi penguncian toilet yang belum berakhir hingga kini tidak akan ditemukan lagi ampas kehidupan atau hal lain yang mengambang di kamar mandi? Saya tidak yakin dengan hal tersebut.

Bagi saya menjaga kebersihan toilet adalah kewajiban setiap orang. Kalaupun terjadi pelanggaran, harus ditemukan cara yang bijaksana dan efektif untuk mengatasinya. Bukannya dengan mengambil jalan pintas dengan mengunci salah satu toilet. Hal itu bukan saja tidak mengatasi masalah, tetapi yang lebih parah tindakan ini hanya mengotori wajah manajemen yang memang sudah kotor.

Sulit rasanya berharap anggota organisasi akan menaruh hormat kepada manajemen. Kalaupun mereka tidak membantah atau mendemo peraturan yang dikeluarkan, hal itu semata-mata karena unsur kepraktisan dan ketakutan gaji tidak keluar bulan depan. Mau makan apa anak dan istri di rumah kalau gaji yang diandalkan untuk menjalankan roda perekonomian keluarga tidak cair.

Belum reda masalah toilet, salah seorang utusan manajemen sudah mulai mencoba mendiskusikan tentang pelarangan Yahoo Messenger! dan situs Friendster. Alasan yang digunakan adalah menurunnya efektivitas kerja karyawan karena mereka asik ber-ym ria dengan teman-temannya.

Satu buah pikiran yang menurut saya juga kurang bijaksana dan cerdas. Sudah menjadi rahasia umum bila manajemen perusahaan kecil lebih senang mengkambinghitamkan Yahoo Messenger atas ketidakefektifan karyawannya ketimbang bersusah payah mencari akar permasalahannya. Mereka tidak mau pusing bertanya “mengapa karyawan saya lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk chatting ketimbang mencoba berusaha menampilkan prestasi yang baik?”

Bagi saya kalau efektivitas kerja menurun, pasti ada hal besar yang menjadi penyebabnya. Yahoo Messengger, Friendster, atau apapun yang dianggap bersalah hanya menjadi ekses dari masalah yang ada.

Saya menduga salah satu akar masalahnya adalah sistem reward and punishment yang tidak dijalankan dengan benar dan adil. Menurut saya bila hal tersebut telah dijalankan dengan benar dan adil, angka efektivitas kerja tentunya akan meningkat secara signifikan.

Bila dalam sebuah organisasi sistem reward and punishment tidak dilakukan dengan benar dan adil, rasanya sulit berharap efektivitas kerja akan meningkat. Buat apa mereka mencurahkan pikiran dan tenaganya bila apa yang mereka dapat sama dengan seseorang yang hasil kerjanya kacau dengan kedisiplinan yang sangat minim. Kalau seperti kondisinya, hanya ada dua kemungkinan pada wajah grafik efektivitas kerja. Menurun atau stagnan.

Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang cerdas dan humble yang mau bersusah payah mencari akar sebuah permasalahan dan solusi yang bijak. Hanya dengan itu sebuah kepemimpinan akan berdiri tegak dan dihormati tanpa mengemis untuk itu. Jadilah pemimpin yang inspiratif, bukan sebaliknya.

Iseng pas nemenin seto latian di SPH Karawaci